Selasa, 08 April 2014

POLITIK LUAR NEGERI PADA MASA ORDE LAMA DAN MASA ORDE BARU


POLITIK LUAR NEGERI PADA MASA ORDE LAMA DAN MASA ORDE BARU

Ø  Masa Orde Lama
Politik luar negeri suatu negara merupakan hasil perpaduan dan refleksidari politik domestik suatu negara yang dipengaruhi oleh perkembangan dansituasi regional maupun internasional.
 1 Dalam masa ORLA (Orde Lama), politikluar negeri yang dilakukan oleh Indonesia tidak lepas dari pengaruh dinamika politk internasional pasca Perang Dunia II yang didominasi oleh Blok Barat danBlok Timur dalam konteks perang dingin. Banyak negara-negara di dunia ini puntak lepas dari arus konstelasi tersebut, mereka berlomba untuk menjadi aliansiBlok Barat maupun Blok Timur. Posisi ini cukup membuat Indonesia mengalamimasa-masa sulit sehingga terjadi konflik domestik antara golongan kiri yang pro terhadap Blok Timur dan golongan kanan yang pro terhadap Blok Barat. Dalam situasi politik seperti itu, Bung Hatta mencoba merumuskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Pidato pertamanya mengenai politi luar negeri indonesia yang bebas aktif, beliau mengatakan: “……Bebas artinya menentukan jalan sendiri, tidak terpengaruh oleh pihak manapun sedangkan aktif artinya menuju perdamaian dunia dan bersahabat dengan segala bangsa…” (Bung Hatta, 1948) Praktek nyata dari prinsip tersebut kertuang dalam beberapa hubungan internasional yang dilakuk oleh Indonesia yaitu, Pembentukan GNB sebagai wujud ketidak berpihakkan Indonesia kepada Blok AS maupun Blok Soviet (wujud maknabebas). Adanya penolakan oleh Soekarno atas intervensi AS di dalam PerangVietnam (wujud makna aktif), Pencarian pengakuan kedaulatan pasca kemerdekaan dengan menggunakan jalur diplomasi melalui perundingan-perundingan (wujud makna aktif).

Berjalan dengan waktu, pemerintahan Indonesia berjalan kearah pros kiri. Pada masa ini Indonesia dikenal dengan politik luar negeri konfrontasi dengan Malaysia yang dipandang sebagai antek dari neo-kolonialisme dan imperialisme Inggris.Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno di era ini memiliki kecenderungan untuk menjalin hubungan dengan Uni Soviet yang berhaluan komunis.
Pembangunan SUGBK mendapatkan bantuan lunak dari Uni Soviet sejumlah 12,5 juta Dollar AS. Stadion dibangun mulai tahun 1958 dan pembangunan tahap pertama selesai pada tahun 1962Secara jelas terlihat Indonesia pada saat itu juga cenderung berporos keTimur dan dekat dengan negara-negara komunis seperti Cina dan Uni Sovietdibandingkan dengan negara-negara Barat seperti Amerika Serikat. Presiden Soekarno juga menetapkan politik luar marcusuar di mana dibuatporos Jakarta-Peking-Phyongyang. Hal ini menyulut kontrofersi dimata dunia internasional, karena Indonesia yang awalnya menyatakan sikap sebagai negaranon-Blok menjadi berpindah haluan. Hal ini membuat tidak berjalan dengan efektifnya politik luar negeri bebas aktif saat itu.



Ø  Masa Orde Baru
Berakhirnya pemerintahan Soekarno yang diwarnai hal-hal kontroversial seperti Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) pada akhirnya tetap membawa Soeharto ke kursi pemimpin tertinggi pemerintahan dan negara Indonesia. Pergantian kepemimpinan ini turut pula memberikan dinamika baru pada struktur dan sistem politik maupun proses pengambilan keputusan pada masa itu.
Perbedaan arah politik luar negeri Indonesia dari orde Lama ke Orde Baru dapat dilihat dari orientasi kebijakan luar negeri Indonesia yang tidak lagi berdikari atau berorientasi ke dalam dan menutup diri dari bantuan asing, namun juga berorientasi ke luar yakni berusaha membangun hubungan persahabatan dengan pihak asing terutama negara-negara Barat. Orientasi ke dalam berupa pembangunan didukung oleh adanya hubungan dengan pihak asing bertujuan untuk melancarkan pembangunan itu sendiri. Kebijakan yang digunakan pun kebijakan pintu terbuka, dengan meningkatkan investasi asing dan mencari bantuan dana untuk merehabilitasi ekonomi Indonesia (Suryadinata, 1998: 44). Soeharto mengupayakan agar Indonesia mampu berperan dominan dalam permasalahan baik regional maupun internasional. Konfrontasi yang ada pun dikesampingkan terlebih dahulu dan mengedepankan perdamaian, karena menurutnya stabilitas regional diperlukan untuk menjamin keberhasilan rencana pembangunan (Suryadinata, 1998: 45). Fokus dan perhatian Indonesia pada faktor stabilitas keamanan ini menunjukkan  bahwa Soeharto mulai tertarik dengan politik luar negeri.
Presiden Soeharto mulai menampakkan ketertarikannya pada urusan politik luar negeri pada tahun 1980-an, khususnya setelah pemilu tahun 1982. Soeharto menjadi lebih aktif dalam perumusan politik luar negeri Indonesia dengan menjalankan politik luar negeri tingkat tinggi bagi Indonesia (Suryadinata, 1998: 63). Soeharto menjadi semakin percaya diri dengan kemenangan mutlak yang diraihnya dan partainya dalam pemilu 1982. Politik luar negeri Indonesia pun semakin berorientasi keluar. Indonesia semakin berkeinginan untuk memainkan peran dominan dalam masalah regional maupun ekstra-regional (Suryadinata, 1998: 46). Hal ini dapat dilihat dengan upayanya memunculkan citra Non-Blok dan menjadi pemimpin Gerakan itu.
Meningkatnya peran aktif Soeharto dalam politik dalam maupun luar negeri dapat dilihat dari masalah Timor Timur. Pada tahun 1980-an, Timor Timur telah berada di bawah kendali Indonesia dan Soeharto merasa bahwa saat itu adalah saat yang tepat bagi Indonesia untuk berperan aktif dalam masalah-masalah internasional (Suryadinata, 1998: 63). Soeharto mulai mengemukakan inisiatif-inisiatifnya berkaitan dengan masalah internasional dan politik luar negeri Indonesia diantaranya tanggapannya terhadap peristiwa Dili dimana ia berada dalam kendali penuh, proses normalisasi hubungan dengan RRC walaupun ditentang oleh pihak militer dan masalah pengambilalihan Timor Timur. Indonesia mulai aktif menunjukkan peran kepemimpinannya kepada kawasan regional maupun dunia internasional. Indonesia mulai antusias mendukung APEC, terlibat sebagai Ketua Gerakan Non Blok, menjadi penengah antara Singapura dan Malaysia dan berupaya membantu memecahkan masalah Kamboja dimana hal ini dinilai oleh banyak pengamat sebagai cara Indonesia menunjukkan kepemimpinan regional (Suryadinata, 1998: 65-66).  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar